JAYAPANGUS WEB

JAYAPANGUS merupakan media komunikasi muda Hindu. diterbitakn sejak akhir januari 2006 oleh KMHD ISI Yogyakarta. hubungi kami di: E-mail: red_jayapangus@yahoo.co.id phone :08175495575

Tuesday, March 25, 2008

PERKENALAN DARI KAMI

om swastyastu
perkenalkan. kami dari Media Komunikasi Muda Hindu JAYAPANGUS Jogja. sebuah media yang kami terbitkan setiap Purnama secara GRATIS di pura-pura utama JOGJA.
saat ini JAYAPANGUS sudah terbit 21 edisi. dan kami berencana akan semakin mengembangkannya menjadi MEDIA ANAK MUDA HINDU INDONESIA.
saat ini kami sedang merapatkan barisan untuk mewujudkan itu semua. semoga Hyang Widhi merestui dan memuluskannya.
bagi yang ingin lebih mengenal JAYAPANGUS, silahkan hubungi:

www.jayapangus-hindu.blogspot.com
email/FS : red_jayapangus@yahoo.co.id
mailinglist: forum_jayapangus@yahoogroups.com
cara bergabung ke milist :
kirim saja email kosong ke :
forum_jayapangus-subcribe@yahoogroups.com

atau jika ingin tau lebih lengkap bisa hubungi WAHYU (08175495575), agus eka cahyadi (081392713635) budi tomlos (081804037347)
Jika punya saudara atau teman di Jogja, tanyakan saja tentang JAYAPANGUS, pasti mereka TAHU.
kami sangat menunggu tanggapan, saran dan bantuannya untuk mewujudkan CITA-CITA KAMI ini
Saat inipun anda dah bisa membantu JAYAPANGUS, caranya, Bantu kami menyebarkan berital ini ke teman teman Hindu di seluruh Indonesia.
Semakin banyak semain bagus.
Terimaksih.
om Santi, santi, santi om

Thursday, March 13, 2008

MAAF SETAHUN SUDAH KAMI TAK MENG UPDATE Blog

sekali lagi kami mohon maaf karena telah setahun lamanya kami tak pernah memperbaharui Blog Kami.
awalnya karena kami lupa pasword.
semoga edisi selanjutnya kami bisa meng updite blog secara rutin

kami juga sudah mengaktifkan Milist kembali
untuk bergabung ke milist:
kirim email kosong ke:
forum_jayapangus-subscribe@yahoogroups.com

mari berdiskusi dengan Umat Hindu di seluruh Indonesia

Monday, March 19, 2007

PENGUMUMAN

maaf edisi 13 belum kami muat di web ini...sabar ya...
ni ada pengumuman dikit...

JAYAPANGUS mengucapkan selamat HARI RAYA NYEPI saka 1929 semoga tahun baru ini seluruh alam semesta berbahagia
sekedar info untuk Tema JP bulan April : "seputar Brahmacari"
ya..masa menuntut ilmu...tema ini dikaitkan dengan hari Saraswati yang akan jatuh pada pertengahan april, jika punya tulisan, ide atau renungan terkait dengan Brahmacari silahkan segera kirimkan lewat email:red_jayapangus@yahoo.co.id atau lewat sms ke 08175495575/ 081392713635.
kiriman berupa aspirasi umat, surat pembaca, info kegiatan, kata mutiara, sajak, atau apapun untuk kemajuan umat tetap kami tunggu
satu lagi... jika ada pihak yang tertarik pasang iklan di JP segera hubungi kami. karena dari iklanlah selama ini bisa terbit. hehehe...
suksemeom santih, santih, santih om

Dah tau Belum

Bunga (puspa)
Bunga dan kawangen adalah lambang kesucian. Sebagai sarana sembahyang, kita memerlukan yang terbaik, yaitu bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen dapat diganti dengan bunga.
Ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang. Menurut Agastyaparwa bunga yang tidak baik tersebut adalah yang seperti berikut:
Agastyaparwa
nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara:
kembang uleren, kembang ruru tan inunduh, kembang laywan-laywan ngara- nya alewas sekar-kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik.
- Sumber Babadbali.com-

DARI PEMBACA edisi 12

Om Swastyastu
Sehubungan dgn pentingnya melestarikan sejarah dan nilai-nilai budaya Hindu. Saya sebagai penulis Hindu berkepntingan terhadap fenomena ini, bersedia ngaturang ayah dengan jalan menulis di media anda. Kebetulan saya menulis sebuah cerita drama yang berlatar kerajaan Bali Kuna. Tepatnya, pada masa kekuasaan Sri Maharaja Jayapangus.(naskah 1 terlampir) Tulisan ini adalah fiksi dan merupakan buah karya imajinatif penulis,keterkaitan dengan nama tempat, tokoh dll semuanya bertujuan untuk memperkenalkan sekaligus melestarikan kebesaran nama Raja2 yang berkuasa di masa itu. Demikian untuk dimaklumi. Atas kerjasamanya disampaikan terimakasih.
Om, Shanti,shanti,shanti,Om

Putu Sugih Arta
Jalan Pramuka No. 18 Mataram, NTB KP.83123
HP.081803650***
Pertama kami kaget melihat NTB tercantum sebagai alamat anda , kok bisa ya JP sampai Nusa Tenggara Barat ...:)
Kami dari redaksi sangat berterimakasih anda jauh-jauh dari NTB telah bersedia menawarkan diri bersama-sama ngayah untuk umat, tulisan/cerita anda sudah kami terima, semoga diedisi depan sudah bisa dimuat, alangkah menarik jika cerita anda berbentuk cerita bergambar sehingga makin pas dengan konsep JP.
Dari dulu kami sangat berharap akan ada banyak umat yang mau berpartisipasi di JP. Banyak juga teman yang sudah kami minta agar mau nulis untuk JP namun banyak juga yang bilang GAK BISA NULIS disamping alasan lainnya.
Menurut Kami nulis di JP yang paling gampang karena sifatnya santai dan bahasanyapun boleh gaul, jadi kenapa masih ragu-ragu dan takut, kalo gak mulai dari sekarang kapan dong Hindu punya penulis handal dari generasi muda?


Mat Ultah ya JAYAPANGUS, semoga makin jaya dan sukses buat edisi-edisi selanjutnya, aku termasuk orang yang baru tau JAYAPANGUS nich, tapi sewaktu baru membacanya ternyata isinya lumayan bagus. Teruslah berkarya untuk generasi-generasi Hindu pada saat ini dan masa depan. Tak tunggu lho edisi selanjutnya
-Prikayana (Umbulharjo)
Terimakasih atas dukungannya. JP baru setahun dan masih banyak yang harus dilakukan,jadi saran, kritik masukan untuk lebih majunya JP ke depan juga boleh anda sampaikan. Tetap doakan agar JP panjang umur ya...


Neo Kamasutra, Kebajikan Kuno Bagi Manusia Modern


Mendengar kamasutra setiap opini orang yang mendengarnya pasti akan memersepsikannya dengan hubungan seks. Memang kama sutra tidak bisa dipisahkan dari seks, tetapi Kamasutra bukan hanya bicara tentang kehidupan di atas ranjang. Namun, juga bicara tentang persiapan menuju ranjang dan kehidupan setelah turun dari ranjang. Kamasutra, oleh sebab itu, menyentuh keseluruhan hidup manusia, terutama pencarian jati diri atau hakekat dari kehidupan ini
Seperti perumpamaan yang diungkapkan oleh Vatsyayana penyusun buku Kamasutra; Susu di dalam cawan Anda berasal dari seekor sapi. Susu di dalam cawan saya pun berasal dari seekor sapi. Lain sumber Anda (sapi Anda), lain pula sumber saya (sapi saya). Namun, susu yang kita miliki sama, sama-sama bergizi dan memiliki khasiat yang sama pula. Untuk memperoleh mentega, kita pun harus sama-sama mengolahnya. Walau cara kita bisa beda, hasilnya akan sama lagi.
Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri - the centerpoint. Banyak cara untuk menemukan jati diri. Namun, ada empat upaya utama. Setiap upaya mewakili satu sudut, satu sisi kehidupan, yang barangkali berseberangan tetapi dapat dipertemukan.
Pertama adalah kama (keinginan) - keinginan kuat, tunggal, untuk menemukan jati diri. Sementara ini keinginan kita masih bercabang. Perlahan, tanpa memaksa, kita harus mengarahkan keinginan itu kepada diri sendiri. Dari sekian banyak keinginan, kita menjadikannya satu keinginan; keinginan untuk menemukan jati diri.
Kedua adalah artha, biasa diterjemahkan sebagai harta. Sesungguhnya, artha juga berarti “makna” atau “arti”.
Ketiga adalah dharma, kebajikan. Dalam bahasa sufi disebut syariat - pedoman perilaku. Pedoman perilaku berdasarkan kesadaran, itulah dharma. Jangan berbuat baik hanya karena kita dijanjikan sebuah kapling di surga. Itu bukan kebajikan, tapi perdagangan belaka - jual-beli. Berbuatlah baik karena kebaikan itu baik. Berbuatlah baik karena diri kita baik. Berbuatlah baik karena kita sadar.
Keempat adalah moksha, kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak berarti “kebebasan dari" sekaligus “kebebasan untuk”. Kita bebas dari penjajahan, dan mestinya kita juga bebas untuk berpendapat. Namun, ada rambu-rambu yang perlu ditaati, diperhatikan, dan tidak dilanggar. Kenapa ada rambu-rambu? Sebab, kita belum cukup sadar menggunakan “kebebasan untuk” dengan penuh tanggung jawab. Barangkali memang karena itu, atau barangkali ada pihak-pihak yang merasa akan dirugikan, bila kita meraih “kebebasan untuk”.
Lewat Kamasutra, Vatsyayana, sang Begawan, hendak membebaskan kita dari perbudakan, dan belenggu yang menjerat. Tuhan bukanlah yang menciptakan belenggu-belenggu itu, tapi masyarakatlah penciptanya. Nilai-nilai yang mendasari suatu masyarakat semuanya dapat berubah. Tidak ada yang baku.
Vatsyayana mengajak kita untuk sepenuhnya menerima perubahan dan ikut berubah. Dalam bahasa modern, inilah yang disebut Adequency Quotient - kemampuan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan zaman, waktu, keadaan, budaya lokal, dan sebagainya. Ia pun menerima segala aspek kehidupan manusia, termasuk seks - dan lahirlah Kamasutra sebagaimana dipahami oleh Vatsyayana.
Kamasutra menerima seks sebagai anak tangga pertama untuk menemukan jati diri. Seks sebagai bagian dari kama, hasrat, nafsu, keinginan, bukanlah urusan di atas ranjang belaka. Energi seks pula yang kita gunakan dalam keseharian untuk keperluan apa saja. Sebab itu, energi ini perlu diolah, diperlembut, disesuaikan dengan profesi, tugas serta kewajiban kita dalam hidup sehari-hari.
Bila tidak, kita akan bernafsu untuk memperoleh jabatan dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Kita akan bernafsu untuk menjadi nomor satu dengan cara apapun, termasuk mencelakakan pesaing kita. Ini yang terjadi selama ini, sebab kita lupa mengolah energi yang ada di dalam diri. Kita lupa memperlembut energi itu.
Urusan senggama yang dibahas panjang lebar oleh Vatsyayana semata-mata untuk memperhalus energi kita. Ia tidak memberi pedoman, “Janganlah kau melakukan hal ini, janganlah kau bertindak seperti itu.” Ia memberi teknik-teknik, di antaranya yang dapat kita lakukan bersama pasangan kita di atas ranjang, supaya kehewanian di dalam diri kita mendapatkan penyaluran. Sehingga energi di dalam diri dapat ditingkatkan. Nafsu dapat diolah menjadi cinta, dan cinta menjadi kasih.
Nafsu hanya menuntut. Cinta tidak sekadar menuntut, ia juga memberi. Tetapi yang diberikannya setimpal dengan apa yang diterimanya. Kasih itu memberi, memberi, dan memberi. Ia tidak menuntut, tidak peduli dibalas atau tidak.
Itulah falsafah hidup di balik Kamasutra.
Itulah tujuan Vatsyayana ketika menyusun kembali teks teks kuno dan memilih apa saja yang masih relevan di zamannya, kemudian disebutnya Kamasutra. Sebab itu, Vatsyayana juga tidak berpretensi bahwa apa yang ditulisnya itu berlaku sepanjang masa. Bahkan untuk masanya sendiri.
Di akhir tulisannya, ia pun mengingatkan para pembaca, “Yang penting adalah praktik, bagaimana kau melakoni semua ini. Setelah dipelajari, buku ini pun harus kau buang. ... Terjemahkan apa yang telah kau pelajari dalam hidup sehari-hari .“
Barangkali, dialah penulis “kitab suci” yang tidak memiliki beban ego. Ia berasal dari wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, India, Indo, Hindia - wilayah kita semua. Sayang sekali, hanya sebagian kecil di antara kita yang masih memiliki rasa bangga terhadap budaya asal kita. Budaya yang melahirkan Vatsyayana, Mpu Tantular, Sukarno, dan Romo Mangun. Budaya yang melahirkan para pemikir dan negarawan seperti Ki Hajar Dewantara, Syahrir, M. Hatta, Moh. Natsir, dan Kasimo. Budaya yang sudah ada sebelum lahirnya agama-agama.
Dari budaya asal itu pula yang masih dipahami di zaman La Galigo, Bundo Kanduang, Ronggowarsito, dan Mangkunagoro - kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri. Vatsyayana menyebutnya samadhi - keseimbangan yang diperoleh lewat dhyana, hidup berkesadaran. Orang Jawa zaman dahulu menyebutnya sembah rasa. Dan dalam bahasa modern, meditasi. Meditasi bukan dalam pengertian “duduk diam” atau “mendiam-diamkan diri selama beberapa lama”, “menyepi”, dan sebagainya. Namun, “menjadi diam” - setelah hewan di dalam diri kita berhasil dijinakkan. Meditasi juga bukan doa. Ketika kita bendoa, kita berbicara dengan Tuhan, atau apa pun sebutan Anda bagi Kekuatan Tunggal Yang Satu Itu. Dalam meditasi, kita berhenti berbicara. Kita mendengarkan suara-Nya. Untuk menuju ke sana Vatsyayana berkata, urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam dirimu, yaitu seks. Pengolahan energi seks untuk menggapai ketinggian spiritual, itulah intisari Kamasutra.(gtef/dikutipdari Anand K. artikel)

Berhenti Mencari Tuhan


Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya bertemu dengan seorang hindu asal Rusia. saya bertemu dengan dia beberapa waktu lalu di Bali dan sekarang dia tinggal di Bali mungkin untuk waktu yang lama. Dia sudah dua kali ke India, dan di asram tempatnya dulu tinggal selama di India di dominasi oleh orang-orang Rusia. Hindu adalah agama pilihannya sendiri setelah sekian lama bingung dengan teka-teki hidup dan teka-teki alam semesta. Dia menganggap Hindu adalah agama yang paling rasional dan tidk ada Doktrin pemaksaan hanya ada satu jalan menuju pada-Nya.
Saya bertanya ke dia “apakah benar orang Rusia itu atheis ? nggak percaya Tuhan ?” dan dia jawab Ya,,itu dulu tapi tidak sekarang, jawabnya serius. trus saya nanya lagi dengan gaya yang nyantai “ kog bisa gitu bro”? dengan sedikit tegas dia bilang “Karena mereka mencari Tuhan”!! Saya tambah bingung dengan jawabannya dan minta dijelaskan. Dia menjelaskan kepada saya dengan contoh yang nyata,tapi menurut saya ini contoh yang lucu. Dia bilang kalau pesawat ulang alik milik Rusia yang kebulan (SPUTNIK) misi uatamanya adalah mencari Tuhan. Tapi mereka tidak menemukan Tuhan disana, tidak ada Tuhan dilangit, tidak ada Tuhan di bulan, tidak ada Tuhan diluar angkasa, tidak ada Tuhan di atas sana. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Rusia waktu itu melarang warganya untuk beragama, karena Tuhan hanya dianggap hayalan dan takhayul. Akhirnya selama bertahun-tahun lamanya penduduk Rusia tidak percaya pada Tuhan, dan saya tidak bisa membayangkan kehidupan ini. Mereka berusaha mencari Tuhan dengan tehnologi super canggih pada masa itu, tapi mereka tidak menemuykannya, Lucu Bukan ???
Lalu kenapa kita harus berhenti mencari Tuhan ? Ya, kita harus berhenti mencari Tuhan, entah keluar ataupun kedalam diri karena ini akan sia-sia. Tuhan tidak pernah hilang dan selalu ada kenapa harus dicari, kenapa kita mencari Dia Yang Maha Ada. Jawaban yang bagus sekali dari seorang yang berasal dari negara yang dulunya atheis. Saya hanya menganga dengerin penjelasannya. sering saya bingung dengan apa yang dia bilang, maklum bahasa inggris yang sangat pas-pasan modal cuma nekat doang untuk bertanya.
Ya, ..benar sekali, kenapa kita mencari Dia Yang Maha Ada, ada dimana-mana, kenapa kita mencarinya seolah-olah Tuhan pernah hilang. Tidak, kita tidak perlu mencarinya. Kita hanya perluy menyadari-Nya, itulah kata kuncinya. Sadar, elintg, atau conscious...ya, kita hanya perlu menyadari-Nya. Mungkin inilah yang melatar belakangi munculnya nama “ Kesadaran Krishna” atau “Krishna Consciousness” kenapa bukan mencari Krishna ? ya, karena Dia tidak pernah hilang dan selalu ada, tidak ada ruang kosong bagi-Nya, seluruh alam sesta dipenuhi oleh-Nya. Sebab itu, orang juga menyebut Tuhan, Dia Yang Maha Besar.
Setiap orang tahu bahwa Tuhan itu ada, tapi juga sering lupa bahwa Tuhan itu ada. maksudnya begini ; dikiranya Tuahan hanya ada di satu tempat saja, mungkin dipura atau di surga saja. Hal inilah yang membuat kita hanya baik di tempat-tempat yang dikiranya Tuhan hanya ada disitu tapi setelah keluar dari tempat itu, pikiran, perkataan dan perbuatan busuik masuk lagi kedalam kehidupan kita. Inilah naifnya kita, ketika kita bilang Tuhan Maha Hebat dan Dia bisa apa saja, lalu kita bilang “masa sih”? kenapa kita meragukan Tuhan, atau ketika kita menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah milik Tuhan. kita juga masih mengingkarinya. Bila ada orang bertanya “apakah namamu milik Tuhan”? mungkin akan ada yang menjawab “tidak” dan mengatakan bahwa nama Tuhan Hanya Hyang Widhi saja, Allah Saja, atau Krishna saja..terlalu naif kita dan selalu ingkar, dan mengkotak-kotakkan diri hanya karena masalah nama.
Karena Tuhan ada Dimana-mana dan Maha Ada dan juga tidak pernah hilang , So...Control and watch Your WATCH,,,maksudnya apa sih ??
Word : kontrol dan jaga Kata-kata untuk selalu baik
Action : kontrol dan jaga Perbuatan untuk selalu baik
Tought : kontrol dan jaga Pikiran untuk selalu baik
Carakter : kontrol dan jaga Carakter untuk selalu baik
Heart : kontrol dan jaga Hati untuk selalu baik.

Control and Watch your WATCH, supaya tetap bersih dan murni.
“Aku berada dimana-mana di seluruh alam semesta ini dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud. Semua mahluk hidup berada didalam diri-Ku, tetapi Aku tidak berada didalam mereka” (Bhagavad Gita IX.4)
Apa maksud sloka ini ?? di satu sisi Tuhan mengatakan “Aku tidak berada didalam mereka” dan di sloka lain “Aku bersemayam dalam hati setiap mahluk”, membingungkan bukan ?? Itulah hebatnya Tuhan, dan sangat rumit untuk dimengerti oleh akal manusia yang terbatas..
Tulisan :d_gstpa


SAJAK

Buai Nafas Embun

Nafas-nafas kesegaran setelah langkah kaliberkali
Membuai diantara tubuhku
Diantara nafas suara
Jemari kusir kuda roda pedati menemukan tujuannya

Hentakan itu penuh mesra tanpa duga
Bagai belay sang helus dari roda-roda imaji
Rasa sebaris balik menanti langkah sunyi
Buat kasih sang sayap tanpa tepi lagi

Lorong tlah menemukan ruangannya
Alam suara yang tanpa dapat kukira
Pesona dan tanda mata surgawi
Kiasan langkah dan rona tanpa disudahi
- Dedy (datuk) Sumantra Yasa-

Mantra tentang Hasrat
Ada waktu seks menjadi kebijaksanaan
Kearifan yang berdiri diatas hasrat
Seks menjadi kebijakan yang terpendam
Tapi bukan atas nafsu belaka
Dimana rasa, egoisme menjadi luluh
Berlutut sebagai pemuja

Manusia sebagai pemuja hasrat
Terkubur dalam kegilaan
Buta, dalam keangkuhannya, dia merajakan diri

Tak sehebat syair weda dan mantra-mantranya
Ada pencapaian tersembunyi
Sebatas kelahiran mental
Biarkan orang bicara cinta
Biarkan orang bicara cinta
Biarkan tubuh lunglai menahan getarannya
Aku hanya penggoda kecilduniawi
- I Wayan Upadana-

BELUM SAATNYA


Siang itu, hujan yang mulai membasahi Jogja membuat suasana tidak sepanas biasanya, di sebuah rumah kontrakan yang dari luar terlihat sepi, ternyata didalamnya terdapat sepasang muda-mudi yang terlibat dalam diskusi yang menegangkan .
Memang agak aneh Sri dan Bagus yang dikenal sebagai sepasang kekasih yang sama-sama cengengesan dan kekanak-kanakan tiba-tiba bisa berdiskusi seserius itu.
Ternyata perdebatan ini dimulai saat Bagus yang tiba-tiba ingin mengajak Sri melakukan hubungan layaknya sepasang suami istri, walaupun mereka telah berpacaran selama hampir 4 tahun tapi selama ini mereka masih mempertahankan komitmen untuk saling menjaga dan menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang di larang oleh agama.
Sri : “Saya benar-benar tidak menyangka kalau bli Bagus meminta hal itu, bukankah kita sudah sepakat akan melakukan itu kalau kita sudah menikah?”
Bagus : “ tapi Sri, kita kan sudah pacaran cukup lama, orang tua kita sudah sama-sama setuju, semua teman-teman kita juga sudah tau, apa salah kalau sekarang aku meminta yang agak lebih dari kamu?”
Sri : “Bli, kita memang sudah direstui orang tua, tapi apakah bli lupa dengan janji bli ke orang tuaku bahwa bli akan menjaga Sri sampai kita kembali lagi ke kampung dengan gelar sarjana. Sri takut kita pulang bukan bawa ijasah tapi bawa gelar MBA (nikah karena kecelakaan)”
Bagus : “Aku ingat Sri, tapi kemarin bli dikatakan kuno dan munafik karena bilang belum pernah berhubungan ma kamu, parahnya lagi teman-teman bli menganggap bahwa kita malah sudah sering melakukannya selam kita pacaran ini”
Sri :” Bli jangan dengarkan kata orang yang ingin merusak kesucian cinta kita, biarlah mereka berfikiran negative yang penting kita tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Bagus : “ Tapi Sri kalau dipikir-pikir apa sich salahnya kalo kita melakukannya sekarang, memangnya agama kita melarang ya, ada slokanya gak? Lagipula berhubungan intim itu kan juga kebutuhan biologis yang harus dipenuhi.”
Sri : “ Masalah sloka Sri tidak tau, tapi yang jelas sebelum kita resmi menikah kita diharapkan tidak melakukan hal tersebut, Sri pernah baca buku Hindu yang menyatakan bahwa sebaiknya hubungan seks itu dilakukan dengan syarat: Waktu yang tepat (bukan panglong dan purnama, saat istri tidak datang bulan), tempat yang tepat (bukan tempat umum, pura dll), orang yang tepat( istri/suami sah). Mungkin ada lagi syarat lainnya yang Sri tidak ingat. Apa bli juga lupa kalo di Hindu ada masa Greastha Asrama atau masa berumah tangga, sementara kita masih berapada pada masa Brahmacarya Asrama. Jadi saat ini tugas kita adalah belajar. Termasuk belajar mengendalikan diri.
Bagus :”Jadi berhubungan seks diluar nikah itu salah ya….??”
Sri : “Masalah salah atau benar Sri tidak berani menentukan, tapi bukankah dulu diawal kita pacaran bli katanya pernah dinasehati kakek bli di Bali?
Bagus : “ O..iya…dulu kakek bli bilang begini, “jaga diri baik-baik, anggaplah wanita yang menjadi pacarmu seperti buah yang belum matang, kalau memang sangat tertarik dengan buah tersebut kamu boleh lihat , boleh pegang, boleh cium baunya, TAPI jangan sekali-kali kamu makan karena belum matang dan bias menimbulkan penyesalan”
Sri : “ Nah itu beli masih ingat. Anggap aja Sri buah yang nantinya akan sangat manis, namun saat ini belum matang dan masih banyak getah yang justru bisa meracuni bli. Lagi pula bli, kita kan sudah hampir 4 tahun pacaran, bli dan Sri juga sebentar lagi tamat, setelah itu kalau bli mau melamar, Sri mau kok jadi istri bli dan apapun yang bli inginkan dari Sri pasti Sri beri”
Bagus : “Wah…kamu memang wanita yang mulia, maafkan atas kekeliruan bli tadi ya, bli janji akan tetap menjaga Sri dan segera tamat agar kita bisa segera melaksanakan Swadharma kita selanjutnya di masa Greastha.”

-KoMing Kem-


Antara Media dan Umat Hindu (Yogyakarta)

Ketika pulang ke tanah kelahiran, seorang teman ada yang bertanya seperti ini “Untuk apa membuat lembar-lembar seperti ini? (sambil membaca tiap rubrik yang ada)”, pertanyaan yang cukup wajar mengingat di Bali sendiri media-media lembar bernuansa Hindu yang dibuat oleh mahasiswa tidaklah sesemarak di Yogyakarta.
Mungkin hal yang sama akan dialami oleh mahasiswa baru dari luar Yogyakarta yang melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Di daerah asalnya mungkin media lembar tersebut jarang atau bahkan tidak seaktif di Yogyakarta sehingga kesan berbeda akan timbul tatkala kita bersembahyang tiap purnama atau tilem di Pura Banguntapan. Sebenarnya pertanyaan itu adalah pertanyaan mendasar bagi praktisi media atau dalam bahasa sederhananya pembuat atau penerbit lembar untuk memahami tujuan dari menerbitkan sebuah lembar.
Kenapa demikian? Karena masing-masing individu atau kelompok dapat dengan serta merta membuat lembar yang sama dan membagikannya di Pura tanpa harus peduli tentang bagaimana isi atau apa akibat lanjutan dari lembar yang dibagikan. Alih-alih ingin melakukan jnana punia tapi mungkin akan membingungkan umat Hindu yang membacanya jika hal-hal yang disampaikan hanya sekadar mengisi ruang lembar. Tentunya hal demikian bukanlah tujuan dari diterbitkannya lembar tersebut.
Media berperan dalam membangun opini masyarakat sehingga bisa dibayangkan apa yang terjadi jika sebuah media mengatakan bahwa jumlah umat Hindu di Yogyakarta menurun. Tanpa data yang mendukung dan fakta di lapangan, informasi ini akan dapat menimbulkan konflik horizontal antar pemeluk agama sehingga disini ditekankan bagaimana pentingnya tujuan dari media dan bagaimana cara menyampaikannya.
Jika tujuannya untuk memprovokasi, maka media itu telah berhasil mencapai tujuannya, tapi jika ingin menggugah kepedulian kita atas umat Hindu yang lain, maka media itu akan menjadi perintis konflik di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan tersebut, sudah sewajarnya media lembar yang ada di Yogyakarta seperti Jayapangus (JP), Suara Anandam Lembar (SA Lembar), Sanatana Dharma, dan Tunjung Putih (TP) menggali apa yang menjadi tujuan utama dari penerbitan lembar setiap persembahyangan. Hal ini selain dapat mengontrol apa isi dan tema dari media tersebut, juga dapat melengkapi karakteristik masing-masing media yang telah ada. Sehingga pertanyaan untuk apa membuat lembar-lembar ini dapat dijawab oleh masing-masing media lembar.
Selain tujuan, yang harus ditekankan adalah pemahaman mengenai aspek kekuatan media dalam menghasilkan perubahan jika digunakan dengan sempurna. Jika media lembar menginginkan sebuah perubahan dalam Hindu, maka kita perlu memikirkan bagaimana menggunakan kekuatan yang kita miliki untuk melakukan perubahan?
Kekuatan selalu berkaitan dengan persatuan dan alangkah hebatnya jika masing-masing media mampu menyatukan langkah serta berbagi tugas mengenai peran masing-masing dalam komunitas Hindu Yogyakarta. Mungkin fungsi ini yang masih belum “kita” sadari. “Kita” tidak hanya berisikan penerbit media lembar, tetapi juga harus disokong dan dimoderatori oleh para intelektual Hindu, sesepuh Hindu, organisasi Hindu yang ada di Yogyakarta, dan penghargaan terhadap sebuah karya dari seluruh umat Hindu.
Lalu perubahan apa yang diperlukan umat Hindu? Inilah pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab, karena ketika berbicara mengenai umat Hindu, kita akan dihadapkan pada berbagai kepentingan yang terkadang ingin menang sendiri. Sebelum itu semua terjadi, peran media sangat dibutuhkan untuk penyalur informasi, pembentuk opini dan untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada.
Menginjak usia 1 tahun, Jayapangus sebagai media lembar terlebih lagi dengan popularitas yang cukup mengesankan tentunya dapat berperan dengan lebih maksimal lagi dalam membangun opini umat Hindu. Media-media yang lain tentunya harus tetap berjuang membenahi diri dan meningkatkan kualitas lembar sehingga dapat ber-yadnya kepada Hyang Widhi melalui pengetahuan dengan lebih sempurna.
Isi dari masing-masing media pun harus benar-benar berbasis Hindu dan umat serta tidak meninggalkan objektivitas sebagai sebuah media. Saya mengucapkan selamat kepada masing-masing media lembar (news letter) karena mampu memberikan sebuah sumbangsih kepada Hindu, khususnya umat.
Apakah seluruh media yang ada akan berperan maksimal??kita nantikan lembar demi lembar yang akan mengisi persembahyangan di pura.
*)Oleh G. P. W. Suyantara*
penulis adalah pemerhati dan penggeliat media

Saturday, March 10, 2007

PENGUMUMAN

KEPADA PEMBACA SETIA JAYAPANGUS
KAMI MINTA MAAF EDISI 12 DAN 13 BELUM SEMPAT KAMI MASUKKAN
SESEGERA MUNGKIN AKAN KAMI LENGKAPI
UNTUK MENGETAHUI TEMA EDISI APRIL MOHON DILIHAT 2 MINGGU SEBELUM PURNAMA. ATAU JIKA ANDA PUNYA SARAN UTUK TEMA SEGERA SAJA HUBUNGI KAMI DI:
RED_JAYAPANGUS@YAHOO.CO.ID
ATAU 08175495575



dari redaksi edisi 11

Tahun baru telah datang, semangat baru, harapan baru, tantangan baru dan semua yang baru-baru telah menanti didepan. Lalu bagaimana dengan pasangan? Haruskah punya pacar baru atau istri baru? Jika belum punya, wajarlah kalo kita juga mengatur strategi agar ditahun baru ini kita segera memiliki pendamping agar hidup terasa makin lengkap.Yang menjadi masalah adalah jika sudah memiliki pacar atau malah pasangan (istri/suami) haruskah mencari istri/suami baru lagi? Poligami adalah kata yang tiba-tiba kembali ngetren diakhir tahun 2006, kasus-kasus yang terkait dengan cinta segi 3, 4 dst juga kian marak. Banyak masyarakat, pemuka agama, pejabat bahkan Presiden SBY pun turut angkat bicara menanggapi pro dan kontra terhadap Poligami ini.
JAYAPANGUS juga tidak mau ketinggalan,kali ini kami ingin mengetahui bagaimana tanggapan generasi muda Hindu tentang masalah Poligami. Namun karena keterbatasan pengetahuan kami tentang masalah ini (maklum kami masih muda dan belum menikah) serta pengetahuan agam kamipun masih sangat dangkal maka mungkin edisi lebih banyak berisi pendapat pribadi dan pandangan secara umum kejadian ditengah masyarakat saat ini.
Semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi dan menambah semangat kita semua. Tak lupa kami mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU 2007 semoga kita semakin sukses dan selalu dilindungi Hyang Widhi Wasa.



Jaman Greastha bukan jaman Poligami

Sebelum kita membahas poligami yang sesungguhnya, mari kita cerna pikiran yang saya renungkan ini, selama sang pria menikahi satu orang sang istri, itu tetap status sosialnya monogami. Ketika sang pria ingin memiliki istri yang kedua, selama belum diketahui sang istri pertama itu BUKAN poligami, itu masih dalam tingkat perselingkuhan ( Istri Simpanan yang jelas status sosialnya berbeda ) , dan jelas perselingkuhan itu DILARANG agama manapun. Nah...untuk menghindari perselingkuhan dan menghindari masalah terhadap agama, lingkungan dan nama baik, mau ga mau harus dinikahi dengan status sosial yang sama antara sang istri I dan sang istri II, dan secara otomatis istri pertama harus mengetahuinya. Berapa banyakpun mereka punya istri simpanan maka itu bukan poligami.
Namanya juga Zaman, semua berharap ditempatkan dalam kedudukan sama ADIL, yang menjadi pertanyaan adalah: kapan kita bisa menyamakan kedudukan kita?, kalau memang bisa, setiap orang pasti dapat menerima poligami, semua terasa adil jika dapat yang sama, jangan melihat dari siapa yang pertama memiliki, jika yang pertama merasa sama berarti tidak masalah kan???? jika masih menganggap itu tidak sama atau tidak adil berarti anda tidak bisa
menyamakan kedudukan, karena anda sendiri tidak mau disamakan ( adil )”di dalam pikiran logika”.
Kita sebagai generasi Hindu baik itu purusa maupun pradana, memiliki kedudukan yang sama di hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, dan memiliki tangga hidup yang sudah disediakan yaitu:
1.Barhmacari, ( masa menuntut ilmu/Belajar )
2.Greastha, ( Berumah Tangga )
3.Wanaprastha ( mengasingkan diri ke tempat tertentu demi ketenangan jiwa. Bisanya pergi kehutan,namun sekarang hutan dah kian habis, jadi lebih baik mencari cara agar keterikatan keduniawian bisa dilepas.)
4.Biksuka.

Jika kita masih terikat keduniawian maka kita akan terus berkutat dengan kedudukan sosial yang yang tidak akan ada habisnya. Jadi seberapa pengabdian kita kepada masa greastha itulah karma kita. http://id.wikipedia.org mendifinisikan “Baik poligimi maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan poligami”. Dalam histories ini kita dapat lihat para istri para raja atau kasta tidak pernah meributkan masalah kedudukan sosial jadi mereka dipandang sama, jadi mana ada di tahun 99 orang meributkan poligami, kalau ada itupun jarang karena apa, karena mereka bisa menempatkan hatinya pada kedudukan yang sama, sehingga mereka merasa adil-adil saja.
Ingat kita sebagai Generasi Hindu Tidak usah masuk terlalu dalam, membahas orang lain yang ribut hanya karena kedudukan sosial. Itu kehidupan pribadi mereka yang perlu kita hormati. Jika anda merasa rugi dengan mereka rebut, silahkan ajukan ke pengadilan!! Jangan sampe ribut dengan teman atau saudara.
Tulisan: kalu


Labels:


Labels:

disain khusus


hadiah baru


tahun baru, istri????


Labels:

are you ready


JALAN-JALAN ALA KMHD ISI


JAKLAN-JALAN ALA KMHD ISI

‘Pura Tunggal Ika’, tertulis dipapan kecil putih yang menunjuk pada bangunan pura dipinggir jalan di kec. Jenawi, Karanganyar Jateng. “itu pura yang kita tuju….!!” Seloroh seorang penumpang bis memecah kedinginan. Bis biru lusuh berlabelkan ISI Yogyakarta kemudian menghentikan rodanya tepat didepan papan nama tersebut. Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari Jogja, akhirnya rombongan KMHD ISI tiba di pura lokasi pelantikan yang berada di kaki gunung lawu.
Setelah sejenak melepas lelah, dan menghangatkan tubuh dengan menikmati teh hangat dan mie instant yang setia menemani, rombongan berjumlah 40-an orang ini kemudian melakukan kerja bhakti, bersih-bersih disekitar lingkungan pura, dan persiapan acara pelantikan. Acara pelantikan yang berbarengan dengan persambahyangan tilem ini juga dihadiri oleh puluhan umat Hindu yang tinggal disekitar pura. Tua, muda disertai dengan anak-anaknya sebagai generasi penerus berbaur dengan mahasiswa ISI dalam satu kehangatan. Menurut pak wayan (PHDI) “di kec. Jenawi ini terdapat lebih dari dua ribu umat Hindu, mereka hidup berdampingan secara rukun dengan penganut kepercayaan lain dan hingga saat ini belum pernah timbul konflik, malahan yang terjadi adalah tingginya rasa bergotong-royong, lanjut bapak yang lebih dari 20 th meninggalkan kampung halaman (krambitan tabanan) untuk melayani umat.” Menurut beliau perhatian di bidang pendidikan generasi muda Hindu masih kurang jika dibandingkan pembangunan fisik yang menurutnya tidak tepat dengan kebutuhan umat saat ini tambahnya, ketika memberikan sedikit pengalamannya dan bekal khususnya kepada anggota baru.
Inilah untuk kesekian kalinya KMHD ISI melantik anggota baru. Dan kembali memilih lokasi di Jateng, setelah selama 6 kali berturut-turut mengambil lokasi pura diseputaran DI Yogyakarta. Menurut DJ (ketua) “tahun ini kita sengaja memilih keluar Jogja selain bisa melakukan Tirta Yatra, kita juga akan lebih tahu kondisi umat disini. Anggota KMHD ISI yang kini terdata aktif berjumlah 50 orang dan setiap tahun semakin menipis. Seperti yang dikatakan Kenak (panitia) “jumlah anggota baru yang dilantik tahun ini hanya 8 orang” meski setiap tahun menurun dari segi kuantitas namun diharapkan kedepannya mereka tetap mewarnai aktivitas mahasiswa Hindu di Jogja.
Setelah melalui malam yang dingin di pelataran pura Tunggal Ika, rombongan melanjutkan perjalanan menuju lereng gunung lawu, tepatnya di Candi Cetha. Di sepanjang perjalanan menuju ke Candi Cetha, rombongan disuguhi panorama alam yang sangat menakjubkan. Menelusuri jalan kec. Jenawi, di kanan kiri jalan terdapat perkebunan teh Kemuning yang sangat luas. Hamparan hijau daun-daun teh membuat pemandangan serasa damai dan menyegarkan. “perasaan seperti di dunia teletabis ya…”ungkap seorang peserta. Perkebunan teh ini terhampar sampai di bawah kawasan Candi Cetha. Setelah itu, pemandangan yang tergelar hanyalah tegalan yang ditanami berbagai tumbuhan khas pegunungan. Untuk menuju ke sana kita harus ekstra hati-hati. Sebab, jalannya sangat terjal dan mendaki, dengan kemiringan sekitar 70 derajat. Kendaraan yang akan menuju ke sana harus dipastikan dulu bahwa kondisi mesinnya bagus, sedangkan bus lusuh ISI terpaksa di parkir bawah.
Sesampai di kompleks Candi Cetha, rasa sunyi segera menyergap. Dari candi ini bisa dilihat dengan jelas puncak Gunung Lawu, berdiri kokoh dan menakjubkan. Hutan di puncak Gunung Lawu pun bisa disaksikan dengan jelas. Sebuah panorama alam yang maha indah tergelar di depan mata. Keberadaan Candi Cetha pertama kali dilaporkan oleh seorang Belanda bernama Van Der Vlies pada tahun 1842. Selanjutnya candi ini banyak mendapat perhatian dari para ahli purbakala seperti WF Stutterheim, KC Crucq, NJ Krom, AJ Bernet Kempers, Riboet dan Mustopo.
Pada tahun 1928, dinas purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavalasi untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Berdasarkan penelitian Vlies maupun Kempers, kompleks Candi Cetha terdiri dari 14 teras. Namun, kini tinggal 13 teras berundak yang tersusun dari barat ke timur. Makin ke belakang makin tinggi dan dianggap tempat yang paling suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan dengan sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian.
Bentuk bangunan candi ini mempunyai kesamanaan dengan Candi Sukuh yang dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak jaman pra sejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak ditemukan pada candi lain di Indonesia. Pada kompleks candi ini banyak ditemui arca-arca yang mempunyai ciri-ciri masa prasejarah. Misalnya, arca dalam bentuk sederhana, kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Di Candi Cetha, relief binatang mempunyai peranan penting terutama pada teras yang kedua. Di sini bisa kita saksikan sebuah relief segitiga yang besar. Pada segitiga ini terdapat relief tiga ekor kura-kura yang dikelilingi oleh kepiting-kepiting besar dan kecil serta seekor belut. Sementara di sudut-sudutnya ada relief beberapa ekor kadal. Berhadapan dengan puncak segitiga ini, kita lihat lingga yang puncaknya dikelilingi relief-relief bulat. Pada lingga ini terdapat relief bunglon.
Seterusnya kita dapatkan relief binatang bercorak Majapahit. Di sebelah timur segitiga ini terdapat relief kelelawar besar dan padanya terdapat relief bulus. Di muka gerbang berikutnya, kita dapati relief bulus-bulus yang lebih kecil. Masa pendirian Candi Cetha ditengarai sebuah prasasti berangka tahun 1373 Saka atau sama dengan 1451 Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut serta figur binatang maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks Candi Cetha diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-15, dari masa Majapahit akhir.
Berada di tengah-tengah mahakarya agung nenek moyang ini tentu menginspirasi tangan-tangan kreatif anggota KMHD ISI untuk mengabadikannya lagi kedalam bentuk sketsa, drawing, maupun karya potografi untuk dijadikan kenangan dan oleh-oleh pulang ke Jogja. Tanks Cetha, you are may inspiration…
-Gatef-

Labels:

opini poligami

Aku gak tahu gimana poligami dalam aturan agama Hindu, yang pasti secara pribadi aku gak setuju Poligami. Kalo ada yang bilang ,”mendingan Poligami daripada selingkuh/prostitusi” berarti poligami tuh dijadikan topeng untuk melegalkan perselingkuhan dan prostitusi itu sendiri. Sama-sama mengorbankan perasaan perempuan, Cuma beda status hukum (pernikahan sah dan gak sah). Kalo kata tetangga kita “yang penting bisa seadil-adilnya”
Kita manusia biasa, apakah yakin bisa bertindak adil 100%?!!!
Lagian kama bukan tujuan utama lahir sebagai manusia, menyakiti hati makhluk lain(dalam hal ini wanita yang diduain,ditigain dst, kan termasuk himsa karma. Dharma dikalahin nafsu duniawi donk…??
Arik (08180408****)
Setahuku di Hindu ada ajaran tentang perkawinan yang antara lain berisi: Sukla Brahmacari (tidak kawin seumur hidup), Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali) dan Tresna / Kresna Brahmacari (kawin lebih dari sekali, maksimal 4 kali) Tapi menurutku Hindu mengijinkan nikah lebih dari 1 kali harus dilandasi Dharma (bukan hanya nafsu duniawi) missal: istri pertama tidak bisa memberi keturunan, istri sakit parah hingga tidak bisa mengurus rumah tangga dan keluarga dll. Dalam Manawa Dharmasastra IX.102 ada ajaran kepada pasangan suami istri sbb : Pasangan suami istri hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar mereka tidak bercerai dengan cara masing-masing, tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lainnya. Secara umum mencintai orang lain selain istri atau suami sendiri dianggap umum sudah mengurangi kadar kesetiaan dalam perkawinan. Karena itu Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk sejauh mungkin menghindari poligami dan poliandri.
Nyoman (08595268***)

Wednesday, December 06, 2006

buat usaha dong

jaga pura kita

katak dalam tempurung

Monday, December 04, 2006

katak dalam tempurung

ritual ladang bisnis

Wednesday, November 08, 2006

Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

Kalau bertandang ke kos teman, mata saya tak pernah lepas memerhatikan rak bukunya. Seberapa banyak buku yang berderet dan variasi temanya, bagi saya, itu bisa menggambarkan isi kepala si empunya. Ya, karena kata orang Tegal, “You are what you read.” Ya, karena dari tumpukan kertas bernama buku itulah narasi ini bermula.
Dulu, seperti kebanyakan orang Indonesia, saya malas membaca. Lebih-lebih buku agama. Alih-alih membaca satu judul buku hingga selesai, membaca beberapa lembar saja sudah membuat mata saya seperti “Gus Dur” alias ngantuk. Pun mulut saya jadi mendesah eh,…..menguap! Atau sering pula kepala ini jadi pening tujuh keliling karena ora dong apa isinya! Seperti kebanyakan umat Hindu umumnya, saya memahami Hindu hanya mengandalkan pelajaran formal di sekolah dan kampus. Celakanya, pembelajaran itu terasa “kering” di kepala dan hati. Hanya serasa nikmat ketika dapat nilai. Lain itu nyaris tak ada, bukan?
Mempelajari agama di tingkat sekolah tentu beda dengan di kampus. Tapi, celakanya, mahasiswa ikut kuliah agama cuma formalisme untuk dapat nilai! Kegairahan untuk mengeksplorasi lebih dalam, tampaknya, masih kurang. Ini terlihat dari berbagai kegiatan KMHD yang masih itu-itu saja. Salah satunya belum ada media informasi dan publikasi yang mewadahi problematika, opini, ide, kreatifitas, maupun dinamika mahasiswa dan umat Hindu. Padahal, Yogyakarta gudang kaum intelektual. Pun banyak mahasiswa Hindu yang kuliah di Jurusan Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi. Di manakah mereka berada, ya? Tapi saya tak patah arang. Justru itulah saya gunakan sebagai tantangan.
Awalnya, saya tak percaya diri. Pasalnya, pengetahuan agama terbilang pas-pasan (kalau tidak mau disebut kurang). Jangankan mau menerbitkan media, pelatihan jurnalistik aja belum pernah ikut. Alhasil, kemampuan teknis menulis juga masih kurang. Tapi rasa cinta terhadap Hindu-lah yang menghapus keraguan itu. “Ya, learning by doing,” pikir saya.
Kalau sidang pembaca di tahun 2002-2003 sering ke pura tiap Purnama, tentu Anda pernah mendapati secarik kertas mungil yang mulanya dikira brosur iklan. Padahal, kertas mungil itu adalah media alternatif Hindu pertama di Yogyakarta yang dibagikan gratis. Lontar, namanya. Isinya sangat sederhana. Tak disangka, ternyata, sambutan umat sungguh luar biasa. Bersama beberapa teman, saya berupaya menerbitkan secara kontinyu. Tapi, apa daya. Kesibukan saya sebagai mahasiswa (yang sok sibuk) akhirnya memaksa Lontar untuk mengakhiri hidupnya, Agustus 2003.
Banyak orang yang menyayangkan kejadian itu. Ya, saya masih terngiang betapa dramatisnya mengelola Lontar kala itu. Biarpun Lontar telah almarhum, tapi semangatnya harus terus mengobar. Dan, benar saja. Akhirnya, KMHD UGM, di awal 2004, meneruskan perjuangan Lontar dengan menerbitkan Suara Anandam Lembar. Saya tak menyangka semangat Lontar, ternyata, menular kepada rekan-rekan yang lain. Alhasil, kini di Yogyakarta kian marak media alternatif Hindu. Sebut saja: Jnana (alm), Jegeg (alm), Yogya Vidya Jayanti, Sanatana Dharma, dan tentu saja JAYAPANGUS yang keren ini.
Teringat pernyataan seorang teman KMHD, “Saya datang ke Jogja ini untuk belajar di kampus. Bukan jadi penulis.” “Betul, tugas utama kita adalah belajar,” jawab saya, “tetapi, kemampuan menulis akan sangat membantu kita dalam belajar banyak hal.” Bibir merahnya membisu, wajah cantiknya tertunduk. Baru beberapa tahun kemudian saya mendapatkan jawabannya ketika dengan wajah berseri-seri dia bercerita bahwa dia telah memenangi lomba menulis esai di kampusnya, bahasa Inggris lagi. “Wow, hebat! Kamu udah bisa ngalahin saya,” kata saya.
Memiliki pengetahuan agama yang pas-pasan, tetapi berkeinginan untuk terus belajar dan menyadarkan orang lain untuk juga belajar, saya pikir, lebih baik daripada memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak mau berbagi dengan orang lain. Dan, jauh lebih baik daripada orang yang tidak mau belajar sama sekali. Inilah cinta. Cintalah yang menggerakkan karma untuk beryadya mencerdaskan umat. Cinta yang menuntun kita untuk mereguk Dewi Saraswati (baca: ilmu pengetahuan) agar lebih arif menyikapi hidup. Cinta pula yang menafasi saya untuk menceritakan dinamika umat Hindu Yogyakarta kepada segenap pembaca majalah Media Hindu di pelosok Nusantara. Cinta pula yang pernah menggerakkan hati saya, bersama teman-teman agama lain, untuk mengelola sebuah majalah antariman di Yogyakarta.
Saya bisa merasakan energi cinta yang mengalir deras ketika bersembahyang ke pura. Cinta yang berasal dari bhakti para penyungsung pura menyiapkan segala perangkat persembahyangan. Cinta pula yang melandasi para pemuda Pura Banguntapan menjaga sepeda motor kita selagi kita bersembahyang. Namun, dengan tanpa cinta kita justru membuat gaduh suasana pura. Dan, dengan tanpa cintalah kita membuat kotor halaman pura. Dan, dengan tanpa cinta pula kita enggan berdana punia.
Celakanya, “cinta” terhadap kekuasaan dan rupiahlah yang membuat salah seorang pejabat yang duduk di salah satu ruangan di Kanwil Departemen Agama DIY justru membuat kita bingung. Bagaimana tidak bingung, jika ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Hanya manis di bibir. Ya, pantaslah jika kita memberinya gelar kehormatan sebagai Pembingung Masyarakat Hindu DIY. Selalu saja ada 1001 alasan untuk berdalih “tidak ada dana” untuk kegiatan umat. Dengan terang-terangan pula ia memasang tarif untuk mengisi dharwa wacana ataupun membuat tulisan. Luar biasa “cintanya” dalam “mengamankan” dana bantuan rekonstruksi pura yang rusak akibat gempabumi.
Cinta itu ikhlas memberi, bukan sebaliknya. Dengan cinta pulalah semoga kaum muda Hindu semakin giat berjuang memajukan agamanya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Saya berharap, kelak, dunia penerbitan Hindu akan semakin marak. Patut disambut gembira bahwa dewasa ini banyak buku Hindu diterbitkan. Temanya pun beragam. Tapi, bagi saya, itu sermua masih kurang! Saya berharap lagi, kelak, ketika saya jadi ayah, saya tak kesulitan mencari VCD interaktif pembelajaran Hindu buat anak-anak saya. Atau komik-komik bernafaskan kehinduan. Atau juga buku-buku yang membahas khusus problematika para ABG Hindu. Atau buku-buku lain agar generasi mendatang jadi lebih cinta kepada agamanya. Ayo KMHD, bangun! Jangan cuma Kumpul-kumpul Makan-makan Hura-hura Dagelan!!! Jangan malas seperti saya.

oleh SOE HOK GEN*)
penulis adalah wong edan

MEMENANGKAN DHARMA

Beberapa hari lagi Galungan kembali datang menyapa, hari besar yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Hindu. “Hari Kemenangan Dharma Melawan Adharma” kalimat yang terlalu akrab ditelinga kita. Dari jaman nenek-nenek hingga sekarang ajarannya tetaplah sama, Dharma pasti menang melawan Adharma. Namun dalam benak awam kita mungkin akan timbul pertanyaan mengglitik benarkah ketika hari Galungan nanti memang Dharma yang menang. Atau manakah yang dikatakan Dharma dan seseram apakah Adharma itu. Di jaman yang serba digital dan cyber ini dimana samudra luas tak lagi menjadi pemisah dan tembok bukan menjadi penghalang, ketika kepercayaan abstrak kita bersentuhan secara bebas dengan saint maka akan menimbulkan gejolak dan pertanyaan dalam diri kita. Mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan benar seperti perang berkepanjangan antara Palestina dan Israel, kita sulit mengatakan siapa yang benar dan siapakah yang salah.
Kalau hal ini masih menjadi pertanyaan, antara apa yang dimenangkan dan siapa yang dikalahkan, lalu mengapa kita merayakan hari kemengangan atau hari raya Galungan itu, dan mungkin kita kembali diingatkan dengan jawaban ”nak mule keto uli pidan” (memang begitu dari dulunya). Jawaban sederhana tetapi terbukti ampuh mempertahankan tradisi merayakan Galungan hingga sekarang.
Dengan berbekal jawaban nak mule keto setiap Budha Kliwon Dungulan Galungan pasti ada. Di Bali perayaan Galungan digelar dengan sangat meriah, mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek semuanya terlibat dalam suasana kegembiraan. Penjor yang penuh dengan aneka hasil bumi berjejer rapi menghiasi pinggiran jalan-jalan perkotaan hingga pedesaan. Kepulan wewangian dupa, diiringi dengan dentingan genta serta alunan indah kakawin pujaan memenuhi udara, yang terkadang juga diselingi dengan gelak tawa dan teriakan histeris anak-anak kecil sambil berlarian menyambut kedatangan pertunjukan Barong, sungguh suasana yang sangat dinamis. Namun disisi lain, di beberapa sudut balai desa terlihat sejumlah orang duduk bersila membentuk lingkaran yang mengingatkan pada upacara persembahan agni horta, namun bukannya api yang dihitari tapi seperangkat permainan judi (ceki), di sudut yang lainnnya juga terlihat gerombolan anak muda yang sedang meminum minuman keras.
Ya begitulah Galungan, yang dikatakan sebagai sebuah perayaan kemenangan dirayakan dengan berbagai cara oleh umat hindu khususnya di Bali. Mulai dari membuat berbagai macam upakara persembahan, penjor, mempertunjukan kesenian barong, membeli baju baru, menyembelih binatang kurban, hingga bermain judi dan mabuk-mabukan. Dan sebagian besar berorientasi pesta pora. Apakah ini yang dapat menunjukkan pada kita bahwa dharma telah menang. Menurut agus (KMHD ISI) untuk mengetahui apakah Dharma itu menang, terlebih dahulu kita harus mengenal Dharma itu sendiri. Dharma adalah agama lanjutnya, singkatnya Dharma dapat diartikan mematuhi dan menjalankan ajaran agama, dalam hal ini agama Hindu.
Nah kalau begitu sesuaikah semua perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma yang sering kita lakukan dengan petunjuk agama atau Dharma. untuk lebih jelasnya mari kita kutip sebait kata indah dari lontar Sunarigama yang menyebutkan:
Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan,
patitis ikang jnyana sandi, galang apadang
Maryakena sarwa byaparaning hidep.
Maksudnya: Budha Kliwon Dungulan disebut Galungan, mengarahkan bersatunya ilmu pengetahuan suci (jnyana) untuk mencapai jiwa yang terang (galang apadang). Jiwa yang teranglah dapat menghilangkan semua pikiran yang kacau.
Umat Hindu sudah merayakan Galungan seribu tahun lebih. Karena itu sudah sepantasnya perayaan Galungan ini sepatutnya kita evaluasi lebih mendalam lagi. Selama ini sudahkah perayaan Galungan kita rayakan sesuai dengan teks petunjuknya seperti kutipan Lontar Sundarigama di atas.
Pada zaman kali ini, Galungan semestinya kita rayakan lebih mendalam. Dalam hiruk-pikuknya dunia modern, eksistensi godaan hidup semakin menguat. Godaan hidup itu mengarahkan umat manusia semakin menjauh dari Dharma. Gejolak Adharma semakin menguat dalam berbagai wujud. Ada yang berwujud kekerasan fisik, arogansi kelompok, pemaksaan kehendak, kecanduan narkoba dan sejenisnya. Bahkan, gejolak itu ada yang mengatasnamakan agama. Hal ini semestinya tidak terjadi. Karena ajaran agama disabdakan oleh Tuhan bukan untuk mendorong penganutnya untuk tidak bersikap arogan. Sehingga moment perayaan Galungan menjadi sangat penting artinya, yaitu dengan perayaan Galungan yang lebih mendalam ke dalam diri. Seperti dinyatakan dalam Lontar Sunarigama, Galungan semestinya dirayakan dengan mengarahkan diri untuk lebih memfokuskan pada pemaknaan jnyana atau ilmu pengetahuan suci Veda. Dengan demikian kita berharap keadaan diri semakin cerah atau jiwa yang galang apadang.
Hal inilah yang wajib kita terus munculkan dalam setiap perayaan Galungan. Jangan justru Galungan dirayakan dengan cara bertentangan dengan substansinya atau tattwa-nya sendiri.
Perayaan Galungan hendaknya sebagai gerakan moral untuk lebih mendalam melakukan pencerahan diri dengan ajaran suci Veda. Karena itu, perayaan Galungan hendaknya semakin lebih mendalam menuju penguatan spiritualitas diri. Perayaan Galungan dengan menonjolkan pesta pora untuk berhura-hura sangat bertentangan dengan substansi perayaan Galungan itu sendiri. Dan ini harus dimulai dari kita sebagai generasi muda ‘pengawal’ Dharma untuk bersikap kritis demi kelangsungan dan keajegan dharma. Selamat menyambut hari raya Galungan, semoga nanti benar-benar akan menjadi perayaan bagi kemenangan Dharma.
(gatef)